Pages

Sabtu, 26 Februari 2011

Belajar Salah Karena Salah Belajar

“Berantas korupsi!”, gemuruh suara hati rakyat dalam penantian panjang setiap kebijakan pemerintah. Tak lekang kritik dan makian terlontar dari jalan kepada Senayan dan Istana. Tak tinggal diam, dalam perjalanannya yang kedua ini, pemerintah memutar otak dan menggiring opini dengan beragam program “unggulan” dan “wah” sehingga, mungkin, bisa menentramkan hati rakyat. Kasus demi kasus pun menjadi bumbu indah media. Momentum Hari Antikorupsi se-Dunia pun menjadi waktu yang tepat untuk mengutarakan semuanya. Buruh hingga politikus berbicara. Mulai dari pentas musik hingga demonstrasi ricuh. Lalu, bagaimana cara memaknai hari antikorupsi? Apa kontribusi yang dapat kita, sebagai mahasiswa, lakukan dalam rangka hari antikorupsi?

Mahasiswa sebagai poros pergerakan perubahan seharusnya sadar terhadap tanggung jawab besar yang dipikulnya. Pergerakan mahasiswa tidak dapat dibatasi hanya pada teori dan buku-buku tebal. Lebih daripada itu, potensi kita untuk mengubah bangsa ini lebih besar.

Mahasiswa turun kejalan? Boleh, semoga ini bisa menyadarkan saudara kita dari empuknya sofa dan nyamannya tidur siang saat rapat. Akan tetapi, coba tanyakan Surat Izin Mengemudi mereka-yang berkoar di jalan, apakah cara mendapatkannya mengikuti prosedur?

Lalu, Belajar? Mahasiswa memang seharusnya terdidik dan wajib mendidik masyarakat dengan ilmu yang dapat ia amalkan untuk masyarakat. Mungkin ada yang berpendapat tujuan belajar adalah untuk mendapat IP tinggi, sehingga mendapat posisi “bagus” di dunia kerja lalu dengan itu ia bisa mengubah lingkungannya menjadi antikorupsi.

Apakah akan semudah itu menumbuhkan sebuah integritas dan sikap antikkorupsi?

Seorang mahasiswa haruslah komprehensif dalam semua bidang dan sigap menanggapi tuntutan masyarakat. Tak usah kita berbicara terlalu jauh tentang mahasiswa yang rajin aksi tetapi juga rajin nitip absen. Buang juga pemikiran akan belajar yang harus terpatok pada kurikulum semata dan buku yang hanya terkait kuliah tok untuk mengejar IP.

Jikalau mimpi kita sama akan nyatanya pemberantasan korupsi di Negeri ini, tak usahlah berpikir terlalu jauh dulu. Tengoklah diri kita masing-masing, apakah kita siap akan sebuah perubahan kepada kebaikan atau ternyata kita sendiri yang masih jadi penghambat perubahan tersebut? Tidak perduli siapa anda dan wewenag anda saat ini. Jangan terlalu memikirkan Bapak Busyro yang terpilih atau siapa presiden berikutnya. Satu hal saja, agenda pemberantasan korupsi harus ada pada tiap individu dan anda selalu punya peran dalam langkah ini.

Proses belajar yang kita lakukan selama ini, secara tidak sadar, dilakukan dengan cara yang salah. Banyak hal, yang sepertinya biasa saja, ternyata dapat membawa kita tergelincir pada cara belajar yang salah. Pada akhirnya, hal-hal itulah yang menjadi cara belajar kita untuk pembenaran atas sebuah kebiasaan yang salah dan bukannya belajar membiasakan kebenaran.

Terlambat, tidur, dan menyontek, bukanlah pekerjaan yang asing di telinga kita. Di setiap tulisan yang menyinggung korupsi pasti akan memuat kata-kata itu sebagai salah satu aktor pemicu dari korupsi. Bagaimana tidak, pejabat sekalipun masih melakukan pekerjaan ini. Kita terkadang mencaci anggota dewan atau pejabat yang digaji dengan uang negara karena mereka tidak on time dan tidur saat rapat. Lalu, apa bedanya dengan kita yang tidur saat kuliah?

Memalsukan tanda tangan, sebuah hal yang bisa saja tidak pernah kita lakukan sampai saat ini. Namun, pasti ada salah satu pembaca tulisan ini yang pernah melakukannya. Alih-alih kepepet, terdesak, dan ingin cepat selesai, ini seolah menjadi solusi.

Saat ini, mungkin kejadian-kejadian tadi menjadi sebuah pembenaran. “Ah, efek atau nominalnya tidak seberapa,” lalu apa bedanya kita dengan para koruptor yang sudah sering ‘bersilaturahmi’ dengan penjara itu?

Sebut saja peristiwa tahun lalu, saat “pengungsian” elemen kampus yang tergusur karena renovasi gedung. Beberapa barang inventaris diungsikan ke kos-kos pengurus.  Mungkin tak sadar, akhirnya barang-barang tadi turut terpakai atas nama pribadi. Tidak hanya itu, dalam kondisi normal pun bisa terjadi. “Saya kan pengurus” turut menjadi alasan yang ‘dibenarkan’. Kipas, LCD, tikar, hingga kendaraan bisa jadi penggunaannya tidak sesuai dengan fungsi pokok yang seharusnya. Kemudian, bagaimana dengan pejabat yang menggunakan mobil pribadi untuk rekreasi keluarganya? Secara teori pasti kita mengatakan “itu korupsi”, lalu, bagaimana dengan kita?

Beberapa dari kita dapat berkata hal diatas terlalu kaku, idealis, dan tidak sesuai zaman. Memang, banyak mahasiswa yang selagi kuliah menjunjung idealisme dengan kegiatan dan “aksi” ke jalan. Namun, negara ini tetap membutuhkan perjuangan yang lebih keras untuk sebuah perubahan. Apalagi, jika saat ini kita sudah tidak mau mengenal yang namanya nilai kejujuran, menjunjung Idealisme, dan mempertahankan Integritas. Bayangkan, akan seperti apa masa depan negara ini bila semakin banyak orang yang berpikiran negatif seperti itu.

Pembenaran atas sebuah kebiasaan yang salah akan tumbuh menjadi penyakit yang kronis. Sebuah penyakit yang tercatat dalam sejarah pernah menghancurkan kongsi dagang terbesar di dunia saat itu: VOC. Jangan beralasan lagi korupsi “kecil” yang kita lakukan hanya akan kita lakukan saat ini. Namun, lihatlah beberapa puluh tahun lagi, jangan keget jika kita bisa melihat masa depan kita yang kita sendiri yang membentuknya dari sekarang. Ingat, tidak ada dosa besar jika tidak dimulai dari dosa kecil.

0 komentar:

Posting Komentar