skip to main |
skip to sidebar
Bolehkah Merevisi Mahar Setelah Akad?
Ustadz, saya punya seorang keponakan (perempuan) yang ketika dulu
dilamar oleh suaminya (kini telah menikah), meminta mahar berupa
seperangkat perhiasan dan hapalan Al-Quran surah An-Nisa.
Permintaan ini disanggupi; untuk seperangkat perhiasan sudah lunas
dibayar tunai, sedangkan hapalan surah An-Nisa dicicil sesudah menikah.
Kini, setelah melewati usia 6 bulan pernikahan, keponakan saya melihat
progress pelunasan hapalan surah An-Nisa itu berjalan menurun bahkan
cenderung stagnan.
Perlu diketahui bahwa suami keponakan saya
ini sedang mengambil studi spesialis di dalam bidang kedokteran di
Jepang (istrinya ikut ke sana). Suaminya berdalih bahwa dirinya memang
amat sangat sibuk, sedangkan istrinya berpendapat kemauan suaminya yang
kurang; karena menurut cerita keponakan saya, kadang-kadang suaminya
masih sempat menulis blog, meng-update status di socmed, atau menonton
TV.
Yang ingin saya tanyakan, bagaimana sebaiknya untuk solusi masalah ini, Ustadz?
Apakah boleh mahar itu direvisi setelah menikah? Atau sang suami tetap
wajib mutlak memenuhi mahar hapalan surah An-Nisa itu, atau dengan kata
lain berarti kemauannya yang harus ditingkatkan? Mohon pandangan dan
masukannya, Ustadz.
Syukron jazakumullah khayran..
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Untuk menjawab masalah ini, menurut hemat saya ada dua hal yang penting
untuk dibahas. Pertama, tentang hakikat mahar dalam syariat Islam.
Kedua tentang hukum merevisi mahar itu sendiri.
A. Hakikat Mahar Dalam Syariat Islam
Pada hakikatnya yang disebut mahar atau maskawin itu adalah kewajiban
suami untuk memberi harta atau nafkah kepada istri. Tidaklah mahar itu
diterjemahkan menjadi mas kawin, kecuali karena sebenarnya bentuk asli
dari mahar itu memang emas.
Emas disini bukan sembarang emas,
tetapi emas yang dimaksud adalah uang. Di masa lalu, orang-orang tidak
mengenal uang dalam bentuk kertas yang dicetak di pabrik. Wujud fisik
uang di masa lalu tidak lain adalah emas. Maka generasi sebelum kita
sudah benar ketika menterjemahkan mahar dengan sebutan mas kawin.
1. Mahar Hafalan Al-Quran?
Ada pun mas kawin dalam bentuk hafalan ayat Al-Quran, sebenarnya tidak
ada rujukannya. Sebab pekerjaan menghafal ayat Al-Quran bukan termasuk
harta. Kalau pun di masa Nabi SAW ada shahabat yang memberi mahar dalam
bentuk bacaan Al-Quran, maksudnya bukan dia menghafalkan ayat Al-Quran.
Justru dia sudah hafal ayat Al-Quran.
Dan maksudnya juga bukan
lantas istrinya itu dibacakan ayat-ayat Al-Quran. Sebab istrinya tidak
dalam keadaan kesurupan, atau sakit keras hampir meninggal dunia,
sehingga harus dibacakan ayat-ayat Al-Quran.
Yang benar adalah
shahabat itu adalah seorang yang punya ilmu tentang Al-Quran, termasuk
menghafal ayat-ayatnya. Dan dia mampu mengajarkan ilmu-ilmu Al-Quran itu
kepada orang, bahkan bisa menghasilkan harta. Silahkan perhatikan teks
hadits berikut ini :
Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW
didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku
untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang
berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin
menikahinya". Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan
mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi
menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung
lagi, carilah sesuatu". Dia berkata," aku tidak mendapatkan
sesuatupun". Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi". Dia
mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata
lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?". Dia menjawab,"Ya surat ini dan
itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku
telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR
Bukhari Muslim).
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan
bahwa beliau bersabda,"Ajarilah dia Al-Quran". Maksudnya, maharnya
adalah mengajarkan calon istrinya itu ilmu-ilmu Al-Quran.
Dalam
riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu
adalah 20 ayat dan bukan keseluruhan ayat Al-Quran.
Jadi jelas
sekali bahwa yang dimaksud dengan mahar dalam bentuk membacakan ayat
Al-Quran tidak lain adalah mengajarkan. Ya, mengajarkan ayat-ayat
Al-Quran adalah sebuah kerja yang 'bisa diuangkan'. Sebab para dosen dan
guru besar ilmu tafsir dan ilmu qiraat memang berhak untuk dibayar atas
jasa mengajarkan ayat-ayat Al-Quran.
Sekedar sebuah
perbandingan, ketika ada orang-orang kafir yang dijadikan tawanan dalam
perang Badar, maka Rasulullah SAW menawarkan tebusan mereka dalam bentuk
jasa mengajarkan ilmu baca dan tulis. Bila berhasil mengajarkan baca
dan tulis kepada 10 orang dari kaum muslimin, maka jasa mengajarnya itu
setara dengan harga uang tebusan. Maka mereka dengan sendiri otomatis
telah menebus dirinya dan akan menghirup udara kebebasan.
Begitu juga dengan mengajar Al-Quran, juga merupakan jasa mengajar yang
bisa dinilai secara nominal. Jadi ketika ada shahabat yang tidak punya
uang untuk dijadikan pembayar mahar, tetapi dia punya ilmu yang terkait
dengan pengajaran Al-Quran, maka jasa mengajar itulah yang dijadikan
mahar.
Tentu dalam hal ini harus ada dua syarat mendasar :
Pertama, si suami memang seorang guru yang punya ilmu mendalam tentang Al-Quran.
Kalau si suami bukan orang yang layak untuk mengajar, karena sebenarnya
dia pun orang awam, maka mahar dalam bentuk mengajar menjadi tidak ada
artinya. Masak sih orang bodoh disuruh mengajar? Apa yang mau
diajarkan?.
Kedua, si istri adalah orang yang tidak punya ilmu tersebut dan punya kebutuhan untuk mempelajari ilmu-ilmu Al-Quran.
Kalau istrinya lebih pintar dan lebih mendalam ilmunya dibandingkan
suaminya dalam masalah ilmu-ilmu Al-Quran, maka bukan pada tempatnya
kalau dia belajar dari suaminya yang justru lebih bodoh dan lebih rendah
ilmunya.
2. Mahar Rasulullah SAW
Sebaik-baik contoh
dalam urusan agama, termasuk mahar, tentunya Rasulullah SAW. Pernahkah
beliau SAW memberi mahar dalam bentuk dibacakan ayat Al-Quran? Jawabnya
tentu saja tidak pernah.
Lalu apa bentuk dan nilai mahar Rasulullah SAW kepada istri beliau?
a. Mahar Khadijah
Sebut saja mahar untuk istri pertama beliau, yaitu Khadijah
radhiyallahuanha. Sebagian riwayat menyebutkan maharnya adalah 100 ekor
unta. Sebagian lagi menyebutkan 10 ekor unta. Anggaplah kita pakai versi
yang lebih murah, yaitu 10 ekor. Berapa nilai harga 10 ekor unta?
Kalau sapi di negeri kita harganya 20 juta, anggaplah unta harganya 30
juta. Maka kalau 10 ekor unta, setidaknya harganya tidak akan kurang
dari 300 juta.
Sekedar catatan saja, mahar ini untuk Khadijah,
dimana ketika menikahinya, saat itu usia Rasulullah SAW baru 25 tahun,
belum jadi nabi dan belum jadi kepala negara. Masih bujangan ting-ting.
b. Mahar Aisyah
Dari dari Abi salamah berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah:
Berapakah mahar Rasulullah SAW? Ia menjawab: Adalah mahar kepada
istri-istrinya itu dua belas setengah uqiyah. Aisya bertanya: Tahukah
engkau apakah annasysyu, jadi seluruhnya yaitu lima ratus dirham”(HR
Jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi)
Dari riwayat diatas
didapat bahwa mahar Rosul SAW itu nominalnya mencapai 500 dirham. Pada
zaman itu jika kita asumsikan bahwa nilai 1 dirham itu setara dengan 10
dirham, maka akan didapat bahwa nilai nominal mahar Rosul mencapai angka
50 dinar. Angka yang cukup besar jika kita rupiahkan pada sa’at ini.
Anggap saja nilai 1 dinar sa’at ini adalah Rp 2,000,000,-, maka nilai
maharnya Rosul mencapai angka Rp100,000,000,-. Angka yang luar biasa.
Asumsi perbandingan dinar dengan dirham dalam skala 1:10 di dapat dari
hadits Rosul SAW tentang kewajiban membayar zakat harta.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra, Rasulullah SAW bersabda: “Jika
Anda memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu waktu satu tahun, maka
wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak lima dirham. Anda tidak mempunyai
kewajiban apa-apa sehingga Anda memiliki dua puluh dinar dan telah
berlalu waktu satu tahun, dan Anda harus berzakat sebesar setengah
dinar. Jika lebih, maka dihitung berdasarkan kelebihannya dan tidak ada
zakat pada harta sehingga berlalu waktu satu tahun” (HR. Abu Dawud).
Dari sini didapat bahwa 20 dinar emas itu setara dengan 200 dirham, artinya rasio perbandingannya adalah 1:10.
c. Ummu Habibah
Dalam riwayat lain kita bahkan akan lebih tercengang lagi dengan mahar
yang pernah Rosul SAW berikan kepada sebagian istrinya, simak saja
riwayat berikut:
“Dan dari “Urwah dari Umi Habibah,
sesungguhnya Rasulullah saw. Telah mengawininya, sedang ia berada di
Habasyah yang dinikahkan oleh Najasyi (raja Habasyah) dan ia memberi
mahar empat ribu (dirham) serta memberi perbekalan dari dirinya sendiri,
ia mengirimnya bersama Syurahbil bin Hasanah dan Rasulullah saw. tidak
mengirim apapun kepadanya sedang mahar untuk istri-istrinya (yang lain)
adalah empat ratus dirham” (HR Ahmad dan Nasai).
Ternyata Rosul
SAW pernah memberikan mahar kepada salah istrinya yang bernama Ummi
Habibah sebesar 4000 dirham. Jika rasio perbandingan dinar dan dirham
pada zaman itu adalah 1:10, maka kita akan mendapati bahwa mahar beliau
seniai 400 dinar. Jika dinar sekarang mencapai angka Rp 2,000,000,- maka
nilai mahar Rosul SAW mencapai Rp. 800,000,000,-.
B. Merevisi Nilai Mahar
Merevisi nilai mahar pada dasarnya dimungkinkan, akan tetapi semua
kembali kepada keridhaan dan kemurahaan hati pihak istri. Sebab mahar
itu adalah harta milik istri. Awalnya, sebelum pernikahan dan ketika
baru meminang, nilai dan angka rupiah mahar itu harus sudah dibicarakan
sebelumnya. Dan salah satu faktor diterima atau ditolaknya lamaran tentu
adalah masalah nilai mahar itu.
Ya, buat bangsa kita, rasanya
terkesan rada matre sih. Tetapi sebenarnya secra syariah nilai mahar itu
adalah hak preogratif seorang wanita. Seharusnya sama sekali tidak ada
jeleknya membicarakan nilai mahar pada saat lamaran.
Beda
dengan kasus penceramah kondang yang suka pasang tarif, memang kesannya
matre alias bisnis jualan ceramah. Akan tetapi kalau seorang wanita mau
dinikahi, maka dia punya hak sepenuhnya untuk meminta mahar dengan nilai
tertentu. Seratus persen adalah hak yang dimilikinya.
1. Mahar 100 % Hak Wanita
Harta mahar telah ditetapkan dalam syariat bahwa 100% menjadi hak
seorang wanita. Maka besar dan kecilnya nilai mahar, juga 100% terletak
di tangan seorang wanita. Kalau dia mau mahar dengan nilai tertentu,
maka suami harus memenuhinya. Sebaliknya, kalau dia minta dengan nilai
yang jauh lebih rendah, juga tetap merupakan haknya.
a. Tidak Ada Ambang Batas Maksimal
Di masa khalifah Umar, ada sedikit permintaan dari para laki-laki yang
mengeluhkan betapa mahalnya tarif mahar para wanita di masa itu. Maka
Umar berinisiatif untuk memberikan plafon atau angka tertinggi, yaitu
400 dirham. Sekedar perbandingan saja, harga seekor ayam di masa itu
kurang lebih satu dirham. Jadi misalnya harga ayam di zaman kita 25
ribu, maka kira-kira 10 juta rupiah. Ini cuma angka kira-kira saja,
sekedar bisa dibayangkan nilainya.
Maka para wanita tidak boleh
memasang tarif mahar melebihi ambang batas maksimal. Tujuannya tentu
baik, yaitu agar para pemuda dimudahkan untuk bisa segera menikah.
Tetapi kebijakan sang Khalifah langsung diprotes mentah-mentah oleh
para wanita, ketika Umar masih di atas mimbar dan belum selesai
berpidato. Dalam salah satu riwayat disebutan bahwa wanita itu bernama
Asy-Syifa' binti Abdillah radhiyallahuanha, beliau mengingatkan sang
Khalifah dengan dalil sebuah ayat Al-Quran :
وَإِنْ أَرَدتُّمُ
اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا
فَلاَ تَأْخُذُواْ مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإِثْماً
مُّبِيناً
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri
yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari
padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan
jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata? (QS. An-Nisa' :
20)
Seketika Umar pun tersentak kaget dan berkata,"Allahumma
afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar". Kemudian Umar
meralat ketetapannya dan berkata,"Sebelumnya aku melarang kalian untuk
menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan
sekehendak Anda".
b. Adakah Ambang Batas Minimal?
Kebanyakan ulama juga tidak menetapkan batas minimal mahar, sehingga
ada wanita di masa Nabi SAW yang rela tidak mendapatkan mahar dalam
bentuk benda atau jasa yang bisa dimiliki. Cukup baginya suaminya yang
tadinya masih non muslim itu untuk masuk Islam, lalu waita itu rela
dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keIslamanannya
itu menjadi mahar untuknya.
Dari Anas bahwa Abu Thalhah
meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata," Demi Allah, lelaki
sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir
sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi
kalau kamu masuk Islam, keislamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku
tidak akan menuntut lainnya". Maka jadilah keislaman Abu Thalhah sebagai
mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa'i).
Hadist ini menunjukkan bahwa boleh hukumnya bila seorang wanita tidak meminta mahar sedikit pun.
c. Revisi Bentuk Mahar
Maka kalau seorang istri merevisi mahar yang menjadi haknya, atau malah
membatalkan sama sekali permintaannya, yang secara hukum syariat memang
sudah menjadi haknya, tentu tidak ada larangan. Walau pun hal itu
berbeda dengan kebiasaan orang pada umumnya.
Dalam mazhab
Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah disebutkan bahwa bila seorang wanita
melepaskan haknya untuk menerima mahar dari suaminya, maka suaminya
bebas dari kewajiban membayar mahar.
Namun kalau mau ditukar
menjadi bentuk yang lain, pada dasarnya juga tidak masalah. Misalnya,
kewajiban menghafal Al-Quran itu diganti menjadi rumah kontrakan petak
20 pintu, atau 20 unit angkot, yang sifatnya memberikan passive income
bagi istri, tentu akan jauh lebih bemanfaat, bahkan malah lebih sesuai
dengan sunnah.
Walalhu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumah Fiqih Indonesia
sumber : http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1352191024&title=bolehkah-merevisi-mahar-setelah-akad
0 komentar:
Posting Komentar