Pages

Senin, 04 April 2011

Bekerja dalam Islam

Ilustrasi dari cerita fiksi tentang seorang ibu yang sulit bersyukur adalah gambaran kondisi masyarakat saat ini. Banyak saudara kita yang lupa akan bersyukur. Orang bekerja dan bergerak hanya didasarkan atas kebutuhan pribadi semata tanpa berfikir lebih jauh lagi. Jika ia tidak butuh, maka hilang semua motivasi akan bergerak dalam tataran kebaikan dan memberikan segalanya secara maksimal. Bersyukur bukan hanya apa yang diucapkan oleh bibir atau sekedar berkata Alhamdulillah. Namun, lebih luas dari itu. Sikap bersyukur harus melebur dalam kehidupan dan memengaruhi bagaimana seseorang seharusnya bertindak. Sikap bersyukur itu wajib bagi setiap manusia, bahkan Allah membenci makhluk yang kufur akan nikmat-Nya.

Jumat, 01 April 2011

Nikmat, Syukur, dan Bekerja

Manusia sebagai makhluk yang diciptakan secara sempurna memiliki tanggung jawab besar dimuka bumi. Allah telah menganugrahkan begitu banyak karunia-Nya kepada manusia. Lalu, apakah semua itu didapatkan secara cuma-cuma? Mahasuci Allah yang telah memberikan hati kepada manusia sehingga manusia dapat merasakan apa yang ada dan peka terhadap lingkungan. Dengan hati itu pula manusia dapat menentukan setiap tindakannya atas segala nikmat dan karunia yang luar biasa itu. Atas nikmat-nikmat itu Allah tidak menuntut banyak atas sikap manusia, hanya sebuah kata, bersyukur. Dengan bersyukur segala menjadi indah dan cukup. Dengan bersyukur itu, kita juga akan merasa nyaman akan apa yang kita kerjakan dan dimana kita ‘saat ini’ berada. Bukankah Allah telah berulang kali menyinggung manusia akan kesombongan manusia yang tidak bersyukur di dalam Al-quran? Banyak surah yang didalamnya berisikan singgungan terhadap orang-orang yang kufur akan nikmat-Nya. Bahkan, Allah menciptakan sebuah surah khusus yang didalamnya dikisahkan, sedikit dari begitu banyaknya, nikmat Allah yang diberikan dan Allah mengulang-ulang ayat didalamnya. Hal ini mengingatkan kepada urgensi dari sikap bersyukur yang dapat dikatak sebagai bayaran atas semua nikmat yang kita peroleh.
  فَبِأَيِّ آلا ءِرَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

‘Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?’