Khalifah Al-Makmun memang kurang disukai oleh rakyatnya. Banyak ulama
dan orang-orang saleh yang memusuhinya. Pada suatu Jumat, Khalifah
Al-Makmun mengunjungi Bashrah. Dia ikut shalat di masjid agung kota
kelahiran Imam Hasan al-Bashri itu. Tiba-tiba, sang khatib dalam
khutbahnya menyebut nama Al-Makmun dan membongkar
kecurangan-kecurangannya secara kasar.
Pada Jumat yang lain,
Khalifah Al-Makmun menjalankan shalat Jumat berjamaah di masjid yang
berbeda. Kebetulan, khatibnya sama seperti pada waktu dia shalat di
masjid agung Bashrah. Khatib itu pun mengulang kembali kritikan kerasnya
kepada Khalifah Al-Makmun. “Semoga Allah SWT, melaknat khalifah yang
berlaku sewenang-wenang itu,” kata khatib.
Habislah kesabaran Khalifah Al-Makmun. Lalu,
khatib itu diperintahkannya untuk datang menghadap ke istana khalifah.
Setengah dipaksa, khatib tersebut akhirnya mau mengunjungi khalifah.
“Kira-kira, manakah yang lebih baik, engkau ataukah Nabi Musa?”
“Sudah tentu, Nabi Musa lebih baik daripada aku. Tuan pun tahu, bukan?” jawab khatib.
“Lalu, siapakah menurut pendapatmu yang lebih jahat, aku atau Fir’aun?”
Sang
khatib pun terperangah. Dia sudah bisa menduga ke mana tujuan
pertanyaan itu. Namun, dia harus menjawab sejujurnya. “Tentu Fir’aun
masih lebih jahat daripada Tuan.”
“Maaf, seingatku, begitu
jahatnya Fir’aun sampai dia mengaku sebagai tuhan dan bertindak kejam
kepada umat Nabi Musa, malah berani merebus hidup-hidup dayang putrinya
yang bernama Masyithah beserta anak-anaknya. Lalu, Nabi Musa
diperintahkan oleh Allah Swt, untuk berkata lemah lembut kepada si Zalim
itu. Tolong, bisakah engkau membacakan perintah Allah dalam ayat
Al-Quran itu kepadaku?”
Tergagap-gagap, sang khatib membacakan
Surah Thaa Haa (20) ayat 44 yang artinya, “Berikanlah, hai Musa dan
Harun kepada Fir’aun nasihat-nasihat yang baik dengan bahasa yang halus;
mudah-mudahan dia mau ingat dan takut kepada Allah.”
“Karena itu, pantas bukan kalau aku meminta engkau untuk menegurku dengan bahasa yang lebih sopan dan sikap yang lebih baik?”
Khatib
tersebut tidak bisa menjawab sepatah kata pun. Akhirnya, sejak saat
itu, dia berkhutbah dengan nada yang berubah dan isi yang lebih
menyentuh. Terbukti, dengan cara itu, makin banyak masyarakat yang
terpikat dengan ajaran-ajarannya. Lalu, mereka berbalik langkah dari
dunia hitam yang penuh maksiat untuk bertobat, melaksanakan ibadah
dengan lebih taat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar