Pages

Jumat, 31 Desember 2010

Ayo bangun indonesia ku, kamu, dan dia!

Indonesia tanah air beta, Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala tetap dipuja-puja bangsa
Disana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata

Indonesia negeri yang dahulu (katanya) diagung-agungkan dan disanjung. Negeri yang penuh dengan begitu banyak anugrah yang melimpah ruah. Negeri yang mendapat julukan sebagai surga dunia yang penuh dengan orang sopan dan alamnya yang indah. Tapi apakah itu negeri ku saat ini? Melihat beberapa peristiwa belakangan ini tersibak dalam pikir mengenai negeri dan bangsaku ini. Ya, bangsa yang gagah, yang sanggup arungi luas samudra, sopan, dan santun. Jika memang bangsaku yang santun dan memiliki alam indah lalu bangsa apa yang kulihat waktu itu? watak siapakah ini?

Masalah sepele, sampah, mungkin (bahkan pasti) sesuatu lumrah dan hal biasa bagi bangsa ini. Terlebih sampah yang ada dimana-mana, di saluran air, di pinggir jalan, bahkan sesuatu yang langka bila ditemukan tempat yang bersih. Alasan “paling cuma gue yang buang” menjadi hal yang biasa dan sering dilakukan, tetapi tidak sadar atau pura-pura tidak sadarkah kita? Bila ada seribu orang dalam satu wilayah berpikir seperti itu? Apa jadinya? Mungkin baginya inilah negeriku jadi sesuka hatiku ku hidup. Hidup tinggal makan, tidur, senang, hanya itu yang mereka pikirkan (seolah2 seperti itu). Mungkin sesekali terlintas negeri Akhirat dengan kehidupan abadi tetapi itu hanyalah iklan dalam pikir, itu pun mungkin bila sedang melihat berdera kuning, setelah itu? ”mari menikmati dunia kembali!”. Tidak lagi terpikir lagi amal diri sendiri apalagi memikirkan orang lain, “sampah itu semua!”. Peraturan hanyalah aturan yang harus dilanggar, “jika tidak dilanggar, kita tidak hebat”. Rambu-rambu lalu lintas dan lampu merah adalah hiasan jalan yang menghabiskan uang negara, undang-undang adalah sebuah komoditi yang menggiurkan, buku UU adalah barang dagangan untuk anak SD, hebatnya menjadi pejabat karena kebal hukum, TV dan internet hanyalah untuk kesenangan. Kemudian uang adalah dewa, dewa yang melancarkan segalanya, sementara Al-quran dan sajadah hanyalah hiasan diruang tamu “biar dibilang alim”. Inilah negeri yang korup berjaya dan yang jujur di penjara.

Hah? Apakah betul semua ini? Jika mau jujur, biarkan sungai yang penuh dengan hiasan yang mengambang yang menjawab, biarkan fasilitas dan barang-barang yang ada menjawab atas ‘kebaikan’ yang kita perbuat kepada mereka, dengarkan saja derai tangis gundulnya bumi dan langit yang sedang asma. Tanyakan, tanyakanlah pada mereka jika memang menunggu saat mulut ini terkunci dan tangan kaki yang bersaksi di persidangan Allah masih terlalu lama untukmu. Atau aku, kau, dan mereka telah tahu jawaban dari semua parodi ini? Atau kita masih menunggu hingga malaikat yang justru bertanya pada kita karena tidak cukup air mata saudara kita dan tangis alam menjadi isyarat?


Terkadang terpikir, berikan saja negeri ini pada pada orang asing (penjajah), jika mereka memang bisa lebih membahagiakan alam kita. Akan tetapi, sekali-kali TIDAK! Inilah negeriku, negerimu, dan negeri yang pantas kita perjuangkan bersama. Tak perduli berapa juta orang yang berpikir dan bertindak seperti di atas, yang jelas sekecil apapun perjuangan dan kontribusi kita sangatlah berarti. Tak usahlah berpikir apakah ini sia-sia atau tidak tetapi tetaplah bergerak dan melaju. Nasib bangsa dan negeri ini ada di tangan kita. Ingatlah harapan itu selalu ada. Buktikan bahwa kita memang umat pilihan. Sadarilah semua ini saudaraku, kehancuran dan kejayaan akan sesuatu ada di dua telapak tangan kita, tinggal bagaimana kita memilih dan menjalaninya. Semoga Allah mengampuni kita semua.

1 komentar: