Pages

Rabu, 05 Oktober 2011

Saya Hanyalah Seekor Ayam

Alkisah dalam padang rumput yang luas, ada sebuah pohon yang amat tua dan rindang. Daun yang rimbun dan ranting yang bercabang-cabang. Akarnya pun menjulur kokoh mencengkram tanah. Pantaslah jika banyak hewan disekitar padang tersebut akan berteduh sekedar beristirahat dari terik atau memang mencari makan karena ada banyak tanaman dan hewan kecil yang dapat dimakan. Namun, tak semua berani mendekat karena ada sepasang elang yang bersarang. Sarang sederhana dengan dua telurnya. Raja langit dengan tatapan mata yang tajam menyapu luasnya padang rumput. Dengan lebar sayap yang mampu mencapai satu setangah meter, hewan monogamy ini menjadi hewan yang paling dihormati di daerah itu, bak keluarga bangsawan yang terhormat.

Suatu hari, sepasang elang pergi mencari makan bersamaan. Tak seperti biasanya, hanya satu ekor yang akan mencari makan. Jika bukan si jantan maka si betina yang akan pergi. Sebentar lagi angin musiman dari barat akan betiup kencang dan itu mungkin satu alasan sepasang elang itu pergi karena biasanya makanan akan lebih sulit didapat. Selain itu, sudah mulai ada pergerakan dari telur-telurnya, “kita harus memiliki cukup energi dan makanan”, seru si elang jantan. Namun, sangat disayangkan, pengawasan yang kurang disaat angin kencang yang sudah mulai bertiup membuat satu buah telur jatuh tanpa sepengetahuan sang induk.
Telur menggelinding ke bawah. Tak jauh memang, di bawah pohon pesar itu, agak landai, ada sebuah peternakan ayam. Peternakan yang besar dan penuh dengan ayam. Perlahan tapi pasti, telur menggelinding hingga masuk ke ruang utama pertenakan dan akhirnya “goool…!”, masuk ke sarang ayam betina. Hangat dan nyaman, seperti sarangnya yang dulu. Ayam pun tak menyadari, cintanya begitu dalam pada telur-telur yang ada dalam ‘eramannya’.
Waktu pun berlalu, telur imut yang keluar dari perut sang “bangsawan” kini telah berbaur dengan ayam. Saudara-saudaranya, ayam, saat menetas. Tak ada dalam ingatannya pohon istana tempat memantau seluruh padang dan hewan yang segera lari jika melihatnya. Kini yang ada hanyalah makhluk kecil yang terus mengais tanah dan berkokok setiap paginya. Maka tak salah lagi apa yang dilakukan sang anak elang tersebut. Mengais tanah, berkokok, dan berebut pakan tambahan bila sang majikan datang. Berulang kali ia melihat sosok makhluk yang gagah, mengarungi angkasa. Sayap yang lebar yang membuat saudara-saudara ayamnya lari masuk ke kandang. Kagum, terpesona, dan ingin berkenalan, itu yang dirasakan anak elang tersebut, padahal yang terbang itu adalah orang tua dan saudara kandungnya, elang.
“Mengapa kita tak mencoba terbang seperti mereka?”, Tanya anak elang memecah suara berisik kandang ayam yang sedang bersembunyi. Sebuah pertanyaan aneh? Ya, sangat aneh bila itu ditanyakan seekor anak ayam. “Hey! Kamu sadar diri. Lihat sekelilingmu, maka itu lah dirimu!”, sahut ayam jantan yang mempimpin blok C di kandang ayam tersebut. Kandang yang luas membuat ayam-ayam itu seolah membagi wilayah teritorial untuk mengatur keadilan pakan.
Anak elang menyapu kandang ayam dengan pandangan yang polos. Yang ia lihat hanyalah makhluk berkaki dua, bersayap tapi tak terbang, dengan paruh kecil yang terus berkotek dan mematuki tanah. Tak ada yang lain. Itu dia, itulah saya, pikirnya.
Waktu terus berlalu, dengan kesendirian karena tak ada ayam yang mau dengan “ayam besar bercakar” sepertinya. Hingga akhirnya, ia pun mati menjemput ajal dalam tua dan dalam kenangan andai aku bisa terbang dengan gagah seperti makhluk yang ku lihat itu. Namun, yang terpatri dalam dirinya hanyalah bahwa SAYA HANYALAH SEEKOR AYAM!
Sesungguhnya tiap-tiap diri kita adalah manusia yang telah diciptakan Allah swt. dengan sempurna dan sebaik-baik penciptaan. Maka apakah kita masih tak bersyukur akan potensi yang telah Allah tanamkan di diri kita? Penghambat terbesar kita adalah dalam diri kita sendiri. Semoga dapat diambil hikmahnya.

0 komentar:

Posting Komentar