Alkisah dalam
padang rumput yang luas, ada sebuah pohon yang amat tua dan rindang. Daun yang
rimbun dan ranting yang bercabang-cabang. Akarnya pun menjulur kokoh
mencengkram tanah. Pantaslah jika banyak hewan disekitar padang tersebut akan
berteduh sekedar beristirahat dari terik atau memang mencari makan karena ada
banyak tanaman dan hewan kecil yang dapat dimakan. Namun, tak semua berani
mendekat karena ada sepasang elang yang bersarang. Sarang sederhana dengan dua
telurnya. Raja langit dengan tatapan mata yang tajam menyapu luasnya padang
rumput. Dengan lebar sayap yang mampu mencapai satu setangah meter, hewan
monogamy ini menjadi hewan yang paling dihormati di daerah itu, bak keluarga
bangsawan yang terhormat.
Suatu hari,
sepasang elang pergi mencari makan bersamaan. Tak seperti biasanya, hanya satu
ekor yang akan mencari makan. Jika bukan si jantan maka si betina yang akan
pergi. Sebentar lagi angin musiman dari barat akan betiup kencang dan itu
mungkin satu alasan sepasang elang itu pergi karena biasanya makanan akan lebih
sulit didapat. Selain itu, sudah mulai ada pergerakan dari telur-telurnya,
“kita harus memiliki cukup energi dan makanan”, seru si elang jantan. Namun,
sangat disayangkan, pengawasan yang kurang disaat angin kencang yang sudah
mulai bertiup membuat satu buah telur jatuh tanpa sepengetahuan sang induk.
Telur
menggelinding ke bawah. Tak jauh memang, di bawah pohon pesar itu, agak landai,
ada sebuah peternakan ayam. Peternakan yang besar dan penuh dengan ayam.
Perlahan tapi pasti, telur menggelinding hingga masuk ke ruang utama pertenakan
dan akhirnya “goool…!”, masuk ke sarang ayam betina. Hangat dan nyaman, seperti
sarangnya yang dulu. Ayam pun tak menyadari, cintanya begitu dalam pada
telur-telur yang ada dalam ‘eramannya’.
Waktu pun
berlalu, telur imut yang keluar dari perut sang “bangsawan” kini telah berbaur
dengan ayam. Saudara-saudaranya, ayam, saat menetas. Tak ada dalam ingatannya
pohon istana tempat memantau seluruh padang dan hewan yang segera lari jika
melihatnya. Kini yang ada hanyalah makhluk kecil yang terus mengais tanah dan
berkokok setiap paginya. Maka tak salah lagi apa yang dilakukan sang anak elang
tersebut. Mengais tanah, berkokok, dan berebut pakan tambahan bila sang majikan
datang. Berulang kali ia melihat sosok makhluk yang gagah, mengarungi angkasa.
Sayap yang lebar yang membuat saudara-saudara ayamnya lari masuk ke kandang.
Kagum, terpesona, dan ingin berkenalan, itu yang dirasakan anak elang tersebut,
padahal yang terbang itu adalah orang tua dan saudara kandungnya, elang.
“Mengapa kita
tak mencoba terbang seperti mereka?”, Tanya anak elang memecah suara berisik
kandang ayam yang sedang bersembunyi. Sebuah pertanyaan aneh? Ya, sangat aneh
bila itu ditanyakan seekor anak ayam. “Hey! Kamu sadar diri. Lihat
sekelilingmu, maka itu lah dirimu!”, sahut ayam jantan yang mempimpin blok C di
kandang ayam tersebut. Kandang yang luas membuat ayam-ayam itu seolah membagi
wilayah teritorial untuk mengatur keadilan pakan.
Anak elang
menyapu kandang ayam dengan pandangan yang polos. Yang ia lihat hanyalah makhluk
berkaki dua, bersayap tapi tak terbang, dengan paruh kecil yang terus berkotek
dan mematuki tanah. Tak ada yang lain. Itu dia, itulah saya, pikirnya.
Waktu terus
berlalu, dengan kesendirian karena tak ada ayam yang mau dengan “ayam besar
bercakar” sepertinya. Hingga akhirnya, ia pun mati menjemput ajal dalam tua dan
dalam kenangan andai aku bisa terbang dengan gagah seperti makhluk yang ku
lihat itu. Namun, yang terpatri dalam dirinya hanyalah bahwa SAYA HANYALAH
SEEKOR AYAM!
Sesungguhnya tiap-tiap diri kita adalah manusia yang telah diciptakan Allah swt. dengan sempurna dan sebaik-baik penciptaan. Maka apakah kita masih tak bersyukur akan potensi yang telah Allah tanamkan di diri kita? Penghambat terbesar kita adalah dalam diri kita sendiri. Semoga dapat diambil hikmahnya.
Sesungguhnya tiap-tiap diri kita adalah manusia yang telah diciptakan Allah swt. dengan sempurna dan sebaik-baik penciptaan. Maka apakah kita masih tak bersyukur akan potensi yang telah Allah tanamkan di diri kita? Penghambat terbesar kita adalah dalam diri kita sendiri. Semoga dapat diambil hikmahnya.
0 komentar:
Posting Komentar